Cahaya di Tanah Es

Di sebuah buku catatan yang sudah usang karena sering terkena salju, tertulis nama itu: Nanang Lecir. Di bawah namanya, ada satu kalimat yang ia tulis dengan tangan bergetar karena dingin:
"Aku datang ke Alaska bukan hanya mencari rezeki, tapi mencari rahayu dalam hidupku."
1. Jejak di Kota Emas
Nome, kota kecil di ujung selatan semenanjung Seward, pernah menjadi tempat orang berbondong-bondong mengejar emas. Tapi saat Nanang tiba, tahun-tahun kejayaan itu sudah berlalu. Kota yang dulu ramai kini seperti terperangkap dalam kesunyian.
Nanang bekerja serabutan: kadang menjadi buruh di pelabuhan, kadang ikut membantu ekspedisi kecil para peneliti es. Dalam setiap langkah, ia menyadari betapa kerasnya hidup di negeri orang. Angin yang menggigit, malam panjang tanpa cahaya matahari, dan rasa rindu yang selalu menyayat ketika ia menatap laut Arktik.
Namun, dalam hati ia selalu teringat pesan ibunya:
"Nak, jangan hanya cari emas di bumi. Carilah emas di dalam hatimu. Itu yang akan kau bawa pulang."
2. Doa di Tanah Sunyi
Suatu malam, saat salju turun deras, Nanang duduk di sebuah gereja tua yang terbuka untuk siapa saja. Ia tidak ikut beribadah dengan tata cara mereka, tapi ia menunduk, berdoa dalam bahasa tanah airnya.
“Ya Maha Ibu Dewi Sakti… aku jauh dari negeri, tapi dekatkan hatiku pada-Mu. Jadikan aku anak bangsa yang tetap setia pada iman dan tanah kelahiran.”
Dalam kesunyian itu, ia merasa ada kehangatan yang turun bukan dari perapian, tapi dari dalam jiwanya. Sejak saat itu, ia menjadikan setiap malam sebagai ruang dialog antara dirinya dan Maha Ibu Dewi Sakti..
3. Pertemuan di Dermaga
Di Nome, Nanang berkenalan dengan seorang lelaki tua bernama Thomas, keturunan pencari emas. Thomas bercerita bagaimana nenek moyangnya datang penuh ambisi, namun pulang dengan tangan kosong.
“Apa yang kau cari di sini, Nanang?” tanya Thomas.
Nanang tersenyum tipis.
“Bukan emas, bukan harta. Aku mencari arti hidup. Aku ingin pulang membawa sesuatu yang lebih berharga iman yang kuat, hati yang tenang, dan cerita untuk bangsaku.”
Thomas terdiam. “Kau berbeda dari kebanyakan orang. Kau tidak hanya melihat tanah ini sebagai ladang emas, tapi sebagai ladang jiwa.”
4. Cahaya di Salju
Tahun demi tahun berjalan. Nanang semakin matang, semakin dalam dalam perenungannya. Ia menulis banyak catatan: tentang kesendirian, tentang sabar, tentang perjuangan seorang anak bangsa di negeri asing.
Setiap kali ia menulis kata “RAHAYU”, ia merasakan seolah-olah bumi Alaska yang dingin itu menjawab dengan kehangatan. Kata itu menjadi mantranya, doa yang ia ucapkan setiap kali rindu pada kampung halaman.
Ia juga selalu menyimpan bendera kecil Merah Putih dalam sakunya. Saat ulang tahun kemerdekaan Indonesia, ia kibarkan bendera itu di pantai Nome. Tidak ada upacara, tidak ada teriakan merdeka, hanya dirinya dan langit Arktik. Namun air matanya jatuh deras, hatinya membuncah bangga.
5. Pulang dengan Cahaya
Akhirnya, setelah bertahun-tahun di Alaska, Nanang memutuskan pulang. Ia tidak membawa emas, tidak membawa harta. Yang ia bawa adalah buku catatan penuh doa, pengalaman tentang kesabaran, dan keyakinan bahwa iman serta cinta tanah air adalah emas sejati.
Di kapal yang membawanya pulang, ia menatap langit. Salju terakhir jatuh perlahan. Nanang berbisik:
“Terima kasih, Alaska. Kau telah mengajarkanku arti perjuangan. Kini aku pulang, membawa cahaya untuk negeriku.”
Kisah Nanang Lecir di Alaska bukan tentang emas yang berkilau, tapi tentang hati yang menemukan jalan menuju Maha Ibu Dewi Sakti. Tentang seorang anak bangsa yang, meski jauh dari tanah air, tetap menjaga iman, cinta, dan rasa patriotismenya.
Setiap kali ia mengenang perjalanan itu, ia hanya mengucapkan satu kata dengan penuh syukur: Rahayu!
Oleh : Ngurah Sigit
Penulis Adalah : Sosilog, Budayawan dan Pemerhati Media.
What's Your Reaction?






