Legenda Pohon Cendana Alas Purwo

Pada suatu hari, di hutan keramat Alas Purwo, tegaklah sebuah pohon cendana yang menjulang tinggi menembus langit. Pohon itu tidak seperti pohon lainnya, batangnya kokoh, daunnya hijau abadi, dan aromanya menguar lembut seakan menembus batas zaman. Pada batangnya terukir jelas angka delapan sebuah tanda yang bukan dibuat tangan manusia, melainkan titipan semesta.
Orang yang memandangnya akan teringat pada ajaran Asta Brata dan Asta Yoga, pedoman para pemimpin agung sejak masa lampau. Konon, Raja Udayana dari Bali Dwipa pernah mengamalkan ajaran itu hingga membawa pengaruhnya melampaui lautan, sampai ke tanah padang pasir jauh yang kini bernama Australia.
Ketika seorang pengembara tengah terpaku menatap pohon itu, tiba-tiba pundaknya ditepuk lembut dari belakang. Ia menoleh, dan berdirilah seorang wanita renta, wajahnya teduh meski usianya diperkirakan telah mencapai sembilan puluh lima tahun. Suaranya lirih namun penuh wibawa.
“Le,” ucapnya, “apa yang engkau lihat?”
Pengembara terdiam, hanya bisa menunduk. Sang wanita melanjutkan,
“Pohon cendana ini akan harum sampai akhir zaman. Angka delapan yang kau lihat adalah tanda generasi penerus. Mereka yang menjaga harumnya cendana inilah yang akan merawat kehidupan, menjaga warisan leluhur, dan menuntun bangsa.”
Mendengar itu, sang pengembara tersungkur bersujud, mencium kaki wanita tua tersebut. Ia menyebutnya Ibu. Dalam hatinya ia yakin, wanita itu adalah Gayatri, ibu dari Ratu Tribhuwana Tunggadewi, penguasa agung Majapahit, sekaligus penjaga rahasia Alas Purwo.
Senyum tipis tersungging di bibir sang Ibu. Ia menatap jauh ke arah cendana, lalu berkata dengan suara penuh makna:
“Lee, ingatlah... loyal itu belum tentu setia. Tetapi setia, itu pasti loyal.”
Sang pengembara mencakupkan kedua tangannya di dada, menunduk hormat, dan berucap pelan,
“Rahayu, Ibu.”
Dan sejak hari itu, aroma cendana di Alas Purwo dipercaya tidak hanya sebagai wewangian hutan, melainkan juga penanda janji setia generasi kepada leluhur dan tanah airnya.
Rahayu..Rahayu..Rahayu.
Oleh : Ngurah Sigit
Penulis Adalah : Sosiolog, Budayawan dan Pemerhati Media.
What's Your Reaction?






