Melampaui Waktu: Jejak Kesetiaan Anjing Hachiko dan Ireng
Kisah Hachiko dan Ireng yang kini terpatri dalam jejak peradaban manusia, seolah-olah ingin memberikan pelajaran yang begitu berharga kepada manusia tentang pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai kesetiaan dan keluhuran moral. Patung memorial Hachiko di Stasiun Shibuya dan Odate, serta kisah Ireng yang Menghilang ketika Ki Pasung Grigis telah meninggal, akan menjadi sumber inspirasi yang tak terlupakan bagi manusia bahwa sesungguhnya kekuatan cinta, kesetiaan, dan pengorbanan sejati, yang tidak akan pernah lekang oleh waktu dan jaman, hanya dapat tumbuh dalam kerendahhatian dan kesederhanaan. Kompleksitas hanya akan menjadikan semuanya itu seperti tidak punya makna.
Dalam kisah-kisah abadi tentang kesetiaan dan keberanian, dua pahlawan tak lazim, Hachiko dan Ki Pasung Grigis, membawa kita pada perjalanan luar biasa melintasi waktu dan budaya. Dalam gelegar kehidupan yang dipenuhi gemerlap tahun 1920-an, Profesor Hidesaburo Ueno dari Universitas Tokyo memulai pencariannya di Kota Odate, Jepang, untuk menemukan anjing Akita Inu yang akan menjadi mitra sejatinya. Di antara pencahariannya, takdir membawanya kepada anjing yang kemudian diberi nama Hachiko, sebuah makhluk setia yang akan menulis kisah tak terlupakan.
Hachiko, berasal dari kata "hachi" yang berarti delapan, menjadi sahabat setia Profesor Ueno dengan harga 30 yen. Setelah tiba di rumah, terjalinlah ikatan harmonis yang tak terputus. Hachiko menjadi pendamping setia, mengantarkan Profesor Ueno setiap hari ke Stasiun Shibuya dan menunggunya setelah sehari penuh mengajar. Ritual ini menjadi pilar tak terpisahkan dari kehidupan keduanya.
Namun, tragedi tiba pada 21 Mei 1925, ketika Profesor Ueno meninggal karena stroke saat mengajar. Hachiko, tanpa mengetahui kepergian tuannya, terus setia menanti di depan stasiun setiap hari. Tiga tahun kemudian, saat Stasiun Shibuya mengalami renovasi pada 1932, Hachiko tetap setia menanti di dekat stasiun, tidur di sekitar toko-toko, menunggu pemilik yang tidak akan kembali.
Kisahnya meluas ke berbagai aspek kehidupan. Meskipun diadopsi oleh orang-orang yang menghormatinya, takdir berkata lain. Melalui perjalanan hidup yang penuh tantangan, Hachiko menjelma menjadi ikon kesetiaan. Pada 8 Maret 1935, Hachiko ditemukan meninggal di dekat Jembatan Inari, Shibuya, karena kanker dan infeksi filaria. Sepuluh tahun hidupnya dihabiskan setia menanti, menjadikan Hachiko anjing paling setia dalam sejarah.
Hachiko terus menginspirasi, tak hanya melalui kisah hidupnya yang mengharukan, tetapi juga dalam bentuk penghormatan dari pemerintah Jepang. Kisahnya termasuk dalam buku pendidikan moral bagi murid kelas dua di Jepang dengan judul "On o Wasureruna" (1937), yang berarti "balas budi jangan dilupakan." Film-film seperti "Hachiko Monogatari" (1987), "Densetsu no Akitaken Hachi" (2006), dan "Hachiko: A Dog’s Story" (2009) juga memperingati kesetiaan anjing legendaris ini. Patung memorial Hachiko di Stasiun Shibuya dan Odate, serta patung bersama Profesor Ueno di dekat Universitas Tokyo, menjadi saksi bisu kesetiaan yang abadi.
Berpindah ke pulau Bali, kita temukan kisah kesetiaan dan loyalitas yang dimiliki oleh anjing Ireng terhadap Ki Pasung Gerigis membuka jendela ke dalam dimensi yang mendalam tentang hubungan antara manusia dan hewan. Ireng tidak hanya menyediakan kehadiran fisik, melainkan menjadi sahabat setia yang membawa kehangatan emosional dalam kehidupan sehari-hari Ki Pasung Gerigis.
Ketika Ki Pasung Gerigis mengalami tantangan atau kesedihan, Ireng seolah memiliki kepekaan emosional yang luar biasa. Anjing ini mampu membaca perasaan tuannya dengan sangat baik, memberikan dukungan tanpa kata-kata. Keberadaannya bukan hanya sebagai hewan peliharaan, melainkan sebagai teman yang selalu siap mendengarkan dan menghibur.
Loyalitas Ireng juga tercermin dalam kesetiaannya dalam segala kondisi. Baik dalam kesusahan maupun kesenangan, Ireng tetap berada di sisi Ki Pasung Gerigis, bahkan ketika Ki Pasung Gerigis telah meninggal, Irengpun menghilang tanpa bekas. Kehadirannya memberikan rasa aman dan kepastian, menciptakan ikatan yang sulit dijelaskan hanya dengan kata-kata. Ini menggambarkan bahwa kesetiaan anjing tidak terbatas pada kondisi atau waktu, melainkan menjadi konstanta dalam kehidupan sehari-hari.
Lebih dari sekadar peliharaan, Ireng menjadi sahabat perjalanan hidup yang memberikan arti mendalam bagi Ki Pasung Gerigis. Kisah ini menciptakan narasi yang menggugah tentang daya tarik luar biasa dalam hubungan antara manusia dan hewan, di mana kesetiaan anjing Ireng tidak hanya mencerminkan terjadinya keajaiban interaksi emosional yang bisa terbentuk di antara dua makhluk yang berbeda jenis, namun juga sebagai simbol kesatuan jiwa dari setiap mahluk hidup.
Kisah Hachiko dan Ireng yang kini terpatri dalam jejak peradaban manusia, seolah-olah ingin memberikan pelajaran yang begitu berharga kepada manusia tentang pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai kesetiaan dan keluhuran moral. Patung memorial Hachiko di Stasiun Shibuya dan Odate, serta kisah Ireng yang Menghilang ketika Ki Pasung Grigis telah meninggal, akan menjadi sumber inspirasi yang tak terlupakan bagi manusia bahwa sesungguhnya kekuatan cinta, kesetiaan, dan pengorbanan sejati, yang tidak akan pernah lekang oleh waktu dan jaman, hanya dapat tumbuh dalam kerendahhatian dan kesederhanaan. Kompleksitas hanya akan menjadikan semuanya itu seperti tidak punya makna.
(Sumber: Doglet)
What's Your Reaction?