Rasa yang Menyangga Republik.

Jul 20, 2025 - 10:36
Rasa yang Menyangga Republik.
Pemandangan tangga di lereng gunung Batukaru

Di sebuah lereng sunyi Gunung Batukaru, Bali, seorang petani bernama Nanang Lecir menjawab dua pertanyaan dari seorang kakek tua berjenggot putih:
“Mengapa guru pengabdi selalu mengutamakan muridnya? Dan mengapa telik sandi selalu mengutamakan pengorbanan?”

Jawaban Nanang Lecir hanya satu kata: rasa.
Rasa memiliki. Rasa menyayangi. Rasa mengasihi. Dan rasa mencintai negeri, dengan panji merah putih sebagai pusat getarnya.

Kisah ini memang fiktif. Namun nilai yang dikandungnya sangat nyata: bahwa republik ini tidak hanya berdiri di atas fondasi formal kenegaraan, tetapi juga di atas pengabdian-pengabdian senyap. Mereka yang tidak tercatat dalam sejarah resmi, tetapi sesungguhnya menyangga keberlangsungan negara: guru-guru di pedalaman, petani-petani kecil yang menjaga pangan nasional, dan pengabdi negara yang hidup dalam kesunyian dan risiko.

Dalam narasi pembangunan nasional, mereka sering absen dari panggung besar. Nama mereka jarang disebut. Wajah mereka tak menghiasi forum atau layar media. Tapi mereka memiliki rasa nilai batin yang jauh melampaui logika upah atau pengakuan.

Di sinilah letak urgensi refleksi kita hari ini: ketika banyak segmen kehidupan publik didominasi oleh pencitraan dan politik transaksional, rasa menjadi barang langka. Ketulusan digantikan oleh kepentingan. Dan pengabdian sering kali harus dibarengi sorotan.

Padahal, dalam sejarah kebangsaan, republik ini dibangun oleh orang-orang seperti Nanang Lecir. Orang-orang biasa yang dengan sadar memilih jalan sepi. Mereka tidak mengejar pamrih. Mereka tidak menunggu sorak. Mereka hanya bekerja dengan rasa. Rasa yang menjadi inti dari nilai kebangsaan itu sendiri.

Maka pertanyaannya: apakah republik masih merawat rasa? Apakah sistem negara masih memberi ruang dan penghormatan pada pengabdian sunyi? Ataukah semua nilai kini ditakar dengan angka dan algoritma?

Dalam situasi politik yang semakin pragmatis, dan tata ekonomi yang makin padat kompetisi, kita perlu kembali menghidupkan kesadaran bahwa tidak semua yang penting harus tampak. Dan tidak semua yang menentukan harus bising. Republik ini tidak bisa hidup hanya dengan elite dan kebijakan; ia memerlukan rasa dari warga biasa, yang tetap setia meski tak terlihat.

Di tengah dunia yang makin riuh, barangkali kita perlu lebih banyak mendengar suara dari Gunung Batukaru: bahwa pengabdian bukan soal panggung, tapi soal rasa.

Oleh: Ngurah Sigit.

Penulis Adalah : Sosiolog, Budayawan dan Pemerhati Media.

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow