BATU DAN BAMBU

Jul 17, 2025 - 19:03
BATU DAN BAMBU
Ilustrasi

Di bawah langit kelabu dan rintik hujan yang malu-malu, seorang lelaki tua duduk bersila di depan batu purba. Hitam baju dan udengnya, putih jenggotnya lambang waktu yang tak pernah ia pertentangkan. Di hadapannya, dupa mengepul, pisang dan gula tertata rapi. Bukan untuk ritual besar, tapi cukup untuk ucapan terima kasih yang dalam.

Batu itu bukan sekadar batu. Ia dipercaya sebagai singgasana halus Ratu Dukuh Sakti roh penjaga yang diwarisi dari generasi ke generasi. Lelaki itu, dipanggil orang sebagai Nang Lecir, bukan siapa-siapa di mata negara. Tapi hari ini, ia adalah segalanya bagi tanah air.

Anak ideologisnya bukan anak kandung, tapi murid kehidupan yang ia tempa dengan nilai hari ini diwisuda sebagai Doktor Hukum Internasional. Bukan di kota kabupaten, bukan di negeri sendiri, tapi di Harvard, Amerika Serikat. Dengan predikat Cumlaude. Di tengah gedung penuh sejarah: Harvard Yard. Tempat para pemimpin dunia pernah berdiri.

Air mata jatuh ke tanah. Ia tak menangis karena bangga semata, tapi karena sadar: yang dulu ia ajarkan di antara ladang dan lumbung kejujuran, keteguhan, dan bakti pada rakyat kini berbuah di negeri jauh, untuk kembali kepada ibu pertiwi.

“Terima kasih, Ratu…” gumamnya. “Putra-putriku kini tak hanya mengabdi pada ilmu, tapi pada bangsanya.”

Pohon-pohon bambu bersuara ditiup angin. Seolah ikut bersaksi, bahwa keberhasilan bukan sekadar hasil belajar, tapi buah dari doa panjang, leluhur yang tak ditinggalkan, dan cinta yang tak bersuara.

Di tengah dunia yang sering lupa pada akar, Nang Lecir tetap menanam. Ia tahu, anak-anak ideologisnya akan kembali, bukan dengan tangan kosong, tapi dengan ilmu yang jernih dan jiwa yang tak lekang oleh dunia.

Karena di bumi yang disebut tanah air ini, cinta pada bangsa bukan jargon, tapi pengabdian.

Oleh: Ngurah Sigit

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow