TIANG MERAH PUTIH NANG LECIR.

Langit pagi berselimut doa. Di lantai delapan Gedung M, kampus ternama ibu kota, suasana khidmat menyelimuti ruang auditorium. Di pojok ruangan, duduk seorang lelaki tua, berjengot, berbaju hitam lusuh dan bersorban hitam. Raut wajahnya tenang, namun matanya berkaca. Dialah Nang Lecir seorang guru kehidupan dari kaki Gunung Penanggungan.
Ia tak dikenal dalam lingkaran akademik, tak memiliki gelar berderet di belakang namanya. Tapi di dalam dada tuanya, tersimpan semangat juang dan cinta tanah air yang tak pernah padam. Anak-anak ideologisnya para pemuda yang ia asuh dengan ilmu, adab, dan keteladanan hari ini menapaki tangga tertinggi pendidikan.
Di hadapannya, seorang anak asuhnya tengah berdiri di mimbar, mempresentasikan disertasi doktor ilmu hukum. Sungguh, tak sekadar kebanggaan dunia, ini adalah jawaban dari doa-doa panjang di malam sunyi, saat ia memohon kepada maha ibu dwi sakti, leluhur dan Tuhan agar ilmu anak-anaknya kelak menjadi cahaya bagi negeri.
Air mata menetes pelan di pipi keriputnya. Nang Lecir bersyukur dalam diam. Dalam hati ia bergumam, “Ya Maha Ibu Dwi Sakti, Leluhur, Tuhan inilah buah dari pengorbanan. Bukan kekayaan yang kupunya, tapi niat lurus dan cinta untuk negeri ini.”
Tatkala sang anak dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude, tepuk tangan bergema di seantero ruangan. Nang Lecir hanya tersenyum, lalu membuka buku harian tuanya dan menuliskan kalimat penuh makna:
" Anak-anakku tersayang, dengan pengorbanan engkau akan menemukan titik dari kehidupan. Dengan ilmu pengetahuan, engkau menancapkan tiang penyangga bendera Merah Putih yang indah. Dengan hukum yang adil, engkau akan menemukan inti sari dari nilai kehidupan."
Usai acara, tanpa banyak bicara, ia pamit pulang. Tak ada yang mengantar, tak ada karangan bunga. Hanya langkah kecil yang penuh makna, menuruni tangga kampus yang kini jadi saksi sejarah batin seorang pejuang sunyi.
Ia kembali ke rumahnya yang sederhana, di lereng Gunung Penanggungan. Di sana, ia kembali menyalakan pelita, bersujud syukur, dan berdoa:
"Ya Maha Ibu Dwi Sakti, Leluhur, Tuhan, kuatkanlah generasi ini agar mampu menegakkan keadilan. Jadikan ilmu mereka ladang amal, dan jadikan negeri ini tanah yang diberkahi."
Sore itu, langit menggurat warna merah putih yang agung. Seakan langit pun mengerti, bahwa hari itu, satu tiang lagi telah ditegakkan. Tiang ilmu. Tiang keadilan. Tiang Merah Putih berkat seorang guru yang ikhlas bernama Nang Lecir.
Oleh: Ngurah Sigit
What's Your Reaction?






