Ratu Mary I: Kekuasaan, Konflik Keagamaan, dan Bayang Kelam
Salah satu tragedi utama selama pemerintahan Mary adalah penganiayaan terhadap penganut Protestan. Mary, yang merupakan penganut Katolik dengan keyakinan kuat, berusaha mengembalikan supremasi Katolik setelah masa pemerintahan saudaranya, Edward VI, yang lebih cenderung kepada Protestanisme. Mary meluncurkan serangkaian undang-undang yang bertujuan mengembalikan otoritas Paus dan menghukum mereka yang menolak mematuhi kebijakan tersebut.
Ratu Mary I, atau yang lebih dikenal dengan sebutan "Bloody Mary," merupakan putri tunggal dari Raja Henry VIII dan Catherine of Aragon, lahir pada 18 Februari 1516. Ratu Mary I memerintah Inggris dari 1553 hingga 1558. Pemerintahannya diwarnai oleh tragedi dan konflik yang melibatkan isu agama, terutama dalam upaya memulihkan Katolik sebagai agama resmi Inggris.
Salah satu tragedi utama selama pemerintahan Mary adalah penganiayaan terhadap penganut Protestan. Mary, yang merupakan penganut Katolik dengan keyakinan kuat, berusaha mengembalikan supremasi Katolik setelah masa pemerintahan saudaranya, Edward VI, yang lebih cenderung kepada Protestanisme. Mary meluncurkan serangkaian undang-undang yang bertujuan mengembalikan otoritas Paus dan menghukum mereka yang menolak mematuhi kebijakan tersebut.
Penganiayaan terhadap penganut Protestan selama pemerintahan Ratu Mary I menciptakan periode kelam yang dikenal sebagai "Masa Penganiayaan Mary" atau "Masa Pembakaran Berdarah." Berikut adalah beberapa hal penting terkait peristiwa penganiayaan Protestan pada masa itu:
1. Undang-Undang Pembakaran Berdarah (Act of Supremacy 1554)
Pada tahun 1554, Parlemen Inggris menetapkan Undang-Undang Pembakaran Berdarah yang membuat pengakuan keyakinan Katolik menjadi syarat bagi warga negara Inggris. Mereka yang menolak tunduk pada Gereja Katolik menghadapi tuduhan kesusahan dan kemungkinan dihukum mati.
2. Eksekusi Pemimpin Protestan
Beberapa pemimpin Protestan terkemuka, termasuk Thomas Cranmer, Nicholas Ridley, dan Hugh Latimer, diadili atas tuduhan kesusahan dan dieksekusi dengan cara dibakar di tiang pancang. Pemimpin-pemimpin ini sebelumnya memiliki peran penting dalam perubahan kebijakan agama selama masa pemerintahan Raja Edward VI.
3. Pembakaran Publik
Salah satu ciri khas masa penganiayaan ini adalah serangkaian pembakaran publik orang-orang Protestan. ratusan orang yang diidentifikasi sebagai Protestan dibakar hidup-hidup di tiang pancang atau dieksekusi dengan cara lain. Tokoh terkemuka seperti Uskup Agung Canterbury Thomas Cranmer menjadi salah satu korban yang paling terkenal. Penganiayaan ini meninggalkan trauma mendalam dalam sejarah Inggris dan memberikan julukan "Bloody Mary" pada masa pemerintahannya..
4. Tindakan Represif terhadap Protestan
Penganiayaan melibatkan tindakan represif yang luas terhadap komunitas Protestan. Tempat-tempat ibadah Protestan diubah menjadi gereja Katolik, dan mereka yang menolak berpartisipasi dalam ibadah Katolik dihukum atau dituntut.
5. Pengasingan dan Pelarangan Bacaan Protestan
Ratu Mary I mengusir banyak tokoh Protestan terkemuka dan menghancurkan buku-buku dan tulisan-tulisan Protestan. Bacaan-bacaan Protestan dilarang, dan orang-orang dilarang untuk memiliki atau menyebarkan materi-materi tersebut.
6. Pengaruh suami Ratu Mary I, Raja Philip II
Pernikahan Ratu Mary I dengan Raja Philip II dari Spanyol juga memiliki dampak pada kebijakan penganiayaan. Philip II memiliki pengaruh yang signifikan dan dianggap keras dalam memastikan pengembalian Inggris ke lingkungan Katolik. Kegagalan pernikahan Mary dengan Raja Philip II dari Spanyol untuk menghasilkan keturunan yang hidup merupakan tragedi tersendiri dalam kisah Ratu Mary I.
Mary meninggal pada tahun 1558 tanpa pewaris langsung, yang membuka jalan bagi saudarinya Elizabeth I untuk menjadi penguasa berikutnya. Pemerintahan Mary yang penuh kontroversi ini meninggalkan warisan yang kompleks dan memberikan pelajaran berharga tentang dampak fanatisme agama dalam politik pada abad ke-16 di Inggris.
(sumber: chatgpt)
What's Your Reaction?